Kamis, 18 Juni 2015

Pengertian Ifta’,Istifta’ dan Mufti




A.    PEMBAHASAN
1.      Pengertian Ifta’,Istifta’ dan Mufti
Ifta’ berasal dari kata afta yang artinya memberikan penjelasan. Secara definisi memang sangat sulit merumuskan arti ifta’ atau fatwa itu. Namun dapat dipahami bahwa ifta’ adalah usaha memberikan penjelasan tentang hukum syara’ oleh ahlinya kepada orang yang belum mengetahuinya.
Sedangkan ciri-cirinya adalah sebagai berikut :
a.       Ia adalah usaha memberikan penjelasan.
b.      Penjelasan yang diberikan itu adalah tentang hukum syara’ yang diperoleh melalui hasil ijtihad.
c.       Orang yang memberikan penjelasan itu adalah orang yang ahli dalam bidang yang dijelaskan itu.
d.      Penjelasan itu diberikan kepada orang yang bertanya yang belum mengetahui hukumnya.[1]
Sedangkan Istifta atau Al-Fatwa secara etimologi (bahasa) ialah:
اَلْجَوَاب عَمَّايُسْكِلُ مِنَ الْامُوْرِ
Artinya: “menyeleseikan setiap problem”
Misalnya kalau kita berkata:
اِسْتَفْتَيْتُ فَاَفْتَانِى بِكَذَا
Artinya: “Aku minta fatwa kepadanya dan ia memberi fatwa begini kepadaku”.
Seperti firman Allah:
وَيَسْتَفْتُو نك فى النساءقل الله يفتيكم فيهن
Artinya: “Dan mereka minta fatwa kepadamu tentang para wanita. Katakanlah Allah memberi fatwa kepadamu tentng mereka.” (QS. An-Nisa’ : 127)
فاستفتهم اهم اشدّ خلقا ام من خلقنا
Artinya: “ maka tanyakanlah kepada mereka (musyrik mekah) apakah mereka yang lebih kukuh kejadiannya atau apa yang telah kami ciptakan itu.” (QS. Saffat : 11)
افتونى فى رؤياي
Artinya: “terangkanlah kepadaku tentang ta’bir mimpiku itu.” (QS. Yusuf : 43)
Di dalam kitab An-Nihabah dikatakan:
يقال : افتاه في المسا لة فيفتيه اذا اجابه
Artinya: “misalnya menfatwakan satu masalah (artinya) ia telah memberi fatwa kalau ia telah menjawab pertanyaan itu.”
انّ اربعة تفا ئوا اليه عليه السّلام اي طلبوا منه الفتوا
Artinya: “sesungguhnya empat orang minta fatwa kepada rasul SAW. Maksudnya minta fatwa dari rasul.”
Dan didalam kitab Al-Misbah disebutkan:
(وفى المصباح) : الفتوى بالواو بفتح الفاء اعمّ من افتى العالم اذا بيّن الحكم
Artinya: “kata fatwa dengan imbuhan wau dan fa yang difatahkan bermakna seorang alim memberi fatwa kalau ia menyeleseikan masalah tentang hukum.”
Sedangkan istifta secara terminologi (istilah) adalah:
الاخبارعن حكم الله تعالى بمقتضى الادلة الشرعية على جهة العموم والشمول
Artinya: “ fatwa ialah menyampaikan hukum-hukum Allah berdasarkan dalil-dalil syariah yang mencakup segala persoalan.”
Adapun hal-hal yang berkaitan dengan masalah fatwa, ibnu al-Qoyyim berpendapat :
a.       Seseorang tidak boleh memberikan fatwa dengan cara taklid karena ia dianggap bukan orang yang berilmu, sedangkan berfatwa tanpa mempunyai ilmu dianggap haram.
b.      Apabila tidak ada orang yang mampu berijtihad dengan pendapat yang paling benar, memberi fatwa dengan cara taklid diperbolehkan ketika sangat dibutuhkan.[2]
Istifta hukumnya fardhu kifayah kalau ada orang lain yang bisa memberi fatwa selain dirinya. Adapun kalau tidak ada orang lain yang bisa memberi fatwa dan masalah yang difatwakan itu cukup mendesak, maka ia pun berkewajiban memberi fatwa atas peristiwa itu.
Mufti ialah pemberi fatwa. Namun, mufti tidak mengeluarkan fatwanya kecuali apabila diminta dan persoalan yang diajukan kepadanya adalah persoalan yang bisa dijawabnya sesuai dengan pengetahuannya. Oleh sebab itu, mufti dalam menghadapi suatu persoalan hukum harus benar-benar mengetahui secara rinci kasus yang dipertanyakan.
Orang pertama menjabat mufti (pemberi fatwa) di dalam islam ialah Rasulullah SAW. Beliau memberi fatwa terhadap segala permasalahan yang timbul atau terjadi berdasarkan wahyu dari Allah yang diturunkan kepadanya.
Rasul di dalam memberi fatwa berdasarkan firman Allah:
فان تنازعتم فى شىء فرد وه الى الله والسول
Artinya: “kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya.” (QS. An-Nisa’: 59)
            Selain itu, Rasul juga memberi kesempatan beberapa orang sahabat untuk berfatwa. Ada sekitar 132 orang yang terdiri atas laki-laki dan perempuan  yang bertindak sebagai mufti (pemberi fatwa) pada masa sahabat. Di antara mufti-mufti yang terkenal ketika itu ialah: Mas’ud, Aisyah ra., Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Abbas dan Abdullah bin Umar.
            Imam Asy-Syatibi di dalam kitab Al-Muwafaqat  mengatakan:
انّ عمركان يستثير آصحا به مع فقهه حتّى اذارفعت اليه حا د ثة قال : ادع لى عليّا وادع لى زيدا فكان يستثير هم ثمّ يفصّل ما اتّفقوا عليه
Artinya: “sesungguhnya Umar bin Khattab selalu bermusyawarah dengan sahabat-sahabatnya padahal beliau seorang faqih, sehingga apabila diajukan suatu perkara kepadanya, beliau selalu berkata panggillah Ali dan Zaid untuk datang kepadaku, lalu Umar bermusyawarah dengan mereka. Kemudian beliau memutuskan yang mereka sepakati.”
            Imam Sya’bi berkata:
كانت القضيّة ترفع الى عمر ربّما تأمّل في ذلك شهرا ويستثير أصحا به
Artinya: “kalau ada kasus yang diajukan kepada Umar kadang-kadang beliau meneliti kasus itu sebulan lamanya. Dan setelah itu beliu mengajak sahabatnya bermusyawarah.”
Setelah itu menyusul Abu Bakar r.a., Ummu Salamah, Anas bin Malik, Abu Sa’id Al-Kudri, Abu Hurairah, Abdullah bin Amru bin Ash, Ibnu Zubair, Abu Musa Al-Asyari, Saad bin Abbi Waqqash, Salman Al-Farisi, Mu’adz bin Jabal, Abdurrahman bin Auf dan Ubadah bin Shamit.
            Ibnu Qayyim di dalam Ilamul Mu’aqqin menyatakan bahwa ulama besar dari golongan tabi’in banyak ditempatkan di negara-negara islam, yaitu di makkah, madinah, kuffah, basrah, yaman dan syam.
            Baik sahabat, tabi’in-tabi’in, maupun ulama-ulama yang ahli ketika itu sangat berhati-hati di dalam berfatwa kalau mereka belum meneliti lebih dahulu dalil-dalil yang difatwakan itu dari Al-Quran maupun dari hadist.
            Ada diantara mereka yang mengharamkannya, dengan berdasarkan firman Allah:
ولاتقولوا لما تصف السنتكم الكذ ب هذا حلال وهذا حرام لتفتروا على الّله الكذ ب انّ الذ ين يفترون على الّله الكذ ب لايفلحون
Artinya: “dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa-apa yang disebut oleh lidahmu secara dusta “ini halal dan ini haram” untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengadakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung.” (QS. An-Nahl : 116)
2.      Syarat Dan Kewajiban Mufti
Menurut pendapat imam atau ahmad bahwa yang menjadi mufti hanyalah yang mempunyai lima perkara, yaitu:
a.       Mempunyai niat dalam memberi fatwa, yakni mencari keridhaan Allah semata. Karenanya janganlah memberi fatwa untuk mencari kekayaan taupun kemegahan, atau karena takut kepada penguasa. Telah berlaku sunah Allah yang memberikan derajat yang tinggi di mata manusia kepada orang yang ikhlas. Kepadanyalah diberikan nur (cahaya) dan memberikan kehinaan kepada orang yang memberikan fatwa atas dasar riya.
b.      Hendaknya ia mempunyai ilmu, ketenangan, kewibawaan, dan dapat menahan kemarahan. Ilmu sangat diperlukan dalam memberi fatwa. Orang yang memberi fatwa tanpa ilmu berarti mencari siksaan Allah.
Mufti harus dapat menahan amarah karena sifat itulah yang menjadi hiasan bagi ilmunya, sebagaimana mufti sangat memerlukan sifat terhormat dan ketenangan jiwa.
c.       Hendaklah mufti itu seorang yang benar-benar menguasai ilmunya, bukan seorang yang lemah ilmunya, karena apabila dia kurang pengetahuan mungkinlah tidak berani mengemukakan kebenaran di tempat dia harus mengemukakannya dan mungkin pula dia nekat mengemukakan pendapat di tempat yang seharusnya dia diam.
d.      Hendaklah mufti itu seorang yang mempunyai kecukupan dalam bidang material bukan seorang yang memerlukan bantuan orang untuk penegak hidupnya. Karena dengan mempunyai kecukupan itu, dia dapat menolong ilmunya. Sedang apabila dia memerlukan bantuan-bantuan orang lain, niscaya akan rendahlah pandangan orang kepadanya.
e.       Hendaklah mufti itu mengetahui ilmu kemasyarakatan. Apabila tidak mengetahui keadaan masyarakat, kemungkinan mufti tersebut menimbulkan kerusakan dengan fatwa-fatwanya.
Disamping itu, terdapat juga syarat-syarat lain yang harus dimiliki seorang mufti:
1)        Fatwanya harus berdasarkan kitab-kitab induk (mu’tabarah) di kalangan para mujtahid agar fatwa yang dikeluarkan itu dapat diterima dan dipercaya oleh massanya.
2)        Kalau ia meriwayatkan satu pendapat dari seorang mujtahid yang pernah mengajarnya, atau pernah mendengar seorang ulama berfatwa, maka ia harus menyebutkan sanad asal orang yang pernah didengar berfatwa itu, supaya ia tidak membuat suatu kesalahan atau kebohongan.
3)        Seorang mufti harus mengerti ilmu perbandingan madzhab dan pendapat-pendapat madzhab agar bisa menjawab atau menyeleseikan setiap perkara fatwanya tepat pada sasarannya, dan tidak menimbulkan kesalahan dalam penerimaan fatwanya.
4)        Seorang mufti harus mengerti hukum-hukum Al-Quran dan Al-Hadist, nasikh-mansukh, muffasal-mubayyan, umum, khas, mutlaq-muqayyad, serta semua ilmu yang berhubungan denga itu menurut yang dibahas dalam ilmu ushulul fiqih.[3]
5)        Seorang mufti harus mengerti/mengetahui berbagai macam pendapat ulama’ agar tidak terjadi kesalah fahaman antara ia dan penerima fatwanya.
6)        Seorang mufti haruslah seorang alim yang memiliki kejujuran.[4]
Ibnu Qayyim menambah bahwa seorang mufti haruslah seorang yang alim dan benar serta bersifat jujur agar dalam memberikan suatu fatwa adil dan jujur pula.
Adapun kewajiban-kewajiban mufti adalah:
a.       Tidak memberikan fatwa saat keadaan sangat marah, atau sangat ketakutan, karena sangat gundah, atau dalam keadaan pikiran bimbang karena suatu hal. Karena semua itu menghilangkan ketelitian dan kebimbangan.
b.         Hendaklah dia merasakan sangat berhajat pada pertolongan Allah dan hendaklah dia memohon pertolongan Allah agar menunjukinya ke jalan yang benar dan membukakan baginya jalan yang harus ditempuh. Sesudah itu barulah dia meneliti nash-nash Al-Qur’an, nash-nash Hadist, atsar-atsar para sahabat dan pendapat-pendapat para ulama. Dan hendaklah dia bersungguh-sungguh untuk menemukan hukum dari pokoknya sendiri dengan bercermin kepada sikap-sikap yang telah dilakukan para ulama dahulu.
Bila dia tidak menemukan kebenaran, hendaklah bertobat dan memohon ampun kepada Allah. Para mufti harus berpegag pada bantuan Allah yang mengilhamkan kebenaran karena ilmu itu adalah cahaya yang diberikan Allah kepada jiwa seseorang hamba. Maka cahaya itu tidak diberikan kepada orang durhaka kepada-Nya. Hawa nafsu dan kemaksiatan merupakan angin badai yang memadamkan cahaya kebenaran.
c.    Berdaya menetapkan hukum dengan yang diridhai Allah dan selalu ingat bahwa dia harus memutuskan hukum dengan apa yang Allah turunkan, serta dilarang mengikuti hawa nafsu.
Seorang mufti tidak boleh memberikan fatwa dengan berpegangan pada suatu pendapat yang pernah dikatan oleh seorang fuqaha tanpa melihat kuat lemahnya perkataan itu. Dia wajib berfatwa dengan yang lebih kuat dalilnya. Kalau tidak demikian, berarti dia mengikuti hawa nafsu. Dan janganlah menfatwakan tipu muslihat untuk menghindari tugas-tugas agama, baik tipu muslihat yang diharamkan atau dimakruhkan. Dan tidak boleh para mufti berat sebelah dalam memberikan fatwa. Janganlah dia menfatwakan hukum-hukum yang ringan kepada orang yang diharapkan dapat memberi bantuan, seperti para penguasa. Umpamanya dalam hal menjatuhkan talak. Janganlah dia mengatakan talak satu kalau yang menanyakan itu seorang penguasa dan dikatakan talak tiga kalau yang menanyakan itu orang biasa.
3.      Kedudukan Istifta
Disebutkan didalam kitab Al-Majmu’ karangan Imam Nawawi: “kalian harus mengerti bahwa fatwa/berfatwa itu adalah satu perkara yang sangat berat dan besar bahayanya, tetapi ia mempunyai faedah yang besar pula karena orang yang berfatwa itu bukan sembarang orang melainkan adalah pewaris para Nabi yang secara fardhu kifayah harus melaksanakan urusan itu”.
Imam Asy-Syatibi menyatakan bahwa mufti adalah penyambung lidah para Nabi, khususnya Nabi Muhammad SAW. Untuk menyampaikan perkara-perkara agama kepada umat di bumi ini.
Berdasarkan hadist Rasul:
ليبلّغ الشّا هد منكم الغا ئب (رواه البخاري)
Artinya: “Hendaklah yang hadir itu menyampaikan kepada yang ghaib.” (HR. Bukhari)
بلغوا عنّى ولو اية  (رواه احمد والترمذى)
Artinya: “Hendaklah engkau menyampaikan kepada mereka dariku sekalipun hanya satu ayat.” (HR. Ahmad dan Tirmizi)
                        Ibnu Abidin menjelaskan bahwa orang fasik tidak boleh diangkat menjadu mufti mengingat urusan fatwa adalah urusan agama. Sedang orang fasik tidak boleh diterima keputusan-keputusannya tentang agama. Pendapat ini didukung oleh Imam Al-Aini.[5]
4.      Hakim dan Qodha
Hakim adalah  yaitu orang yang diangkat oleh penguasa untuk menyelesaikan dakwaan-dakwaan dan persengketaan. 
Syarat-syarat menjadi hakim
Para ahli memberikan syarat-syarat dalam mengangkat seorang hakim, walaupun ada perbedaan dalam syarat-syarat tersebut. Syarat yang dimaksud adalah sebagai berikut
a.       Laki-laki merdeka
Menurut madzhab maliki, syafi’I, dan ahmad, anak kecil dan wanita tidak sah menjadi hakim. Namun, Hanafi membolehkan wanita menjadi hakim dalam masalah pidana dan qishas karena kedua hal tersebut kesaksiannya tidak dapat diterima.
b.      Berakal (mempunyai kecerdasan)
Syarat ini disepakati oleh seluruh ulama’. Hakim harus orang yang cerdas, bijaksana, mampu memperoleh penjelasan dan menanggapi sesuatu yang muskil.
c.       Beragama islam
Adapun alasan mengapa keislaman seseorang menjadi syarat seorang hakim, karena keislaman adalah syarat untuk menjadi saksi atas seorang muslim, demikian jumhur ulama’. Karenanya, hakim non muslm tidak boleh memuus perkara orang muslim.
Dalam hal ini madzhab hanafi berpendapat lebih rinci, yakni membolehkan mengangkat hakim non muslim untuk mengutus perkara orang non muslim, karena orang yang dipandang cakap untuk menjadi saksi harus pula cakap menjadi hakim. Tetapi, tidak pula boleh seorang kafir dzimmi memutus perkara orang muslim karena kafir dzimmi tidak boleh menjadi saksi bagi orang muslim. Banyak pula yang membolehkan hanya dalam hal syafar dan wasiat.
Ulama’  muta’akhirin banyak berpendapat bahwa seorang saksi tidaklah harus seorang muslim. Tetapi diperlukan orang-orang yang kebaikannya lebih banyak dari keburukannya.
d.      Adil
Seorang hakim harus terpelihara dari perbuatan-perbuatan haram, dipercaya kejujurannya, baik diwaktu marah atau tenang, dan perkataannya harus benar.
Dalam hal ini ada perbedaan pendapat antara madzhab hanafi dan syafi’i. golongan hanafi berpendapat bahwa putusan hakim yang fasik adalah sah bila sesuai dengan syara’ dan undang-undang. Sedang syafi’I tidak membolehkan mengangkan orang fasik menjadi hakim karena seorang fasik tidak diterima sebagai saksi.
e.       Mengetahui segala pokok hukum dan cabang-cabangnya.
Hakim harus mengetahui pokok-pokok dan cabang-cabang hukum agar memperoleh jalan utuk perkara yang diajukan kepadanya. Dalam hal ini, Hanafi mebolehkan mukalid menjadi hakim sesuai pendapat Al-Ghazali karena mencari orang yang adil dan ahli ijtihad sangat sulit dengan ketentuan telah diangkat oleh penguasa.
f.       Mendengar, melihat, dan tidak bisu
Orang bisu tidak boleh diangkat menjadi hakim karena orang bisu tidak bisa menyebut putusan yang dijatuhkannya. Demikian pula orang tuli karena tidak dapat mendengar keterangan para pihak, sedang orang buta tidak dapat melihat orang-orang yang berpekara. Syafi’I membolehkan orang buta, tetapi mengakui lebih utama orang yang tegap dan sehat.
Qodha berasal dari bahasa arab yang mengandung banyak arti di antaranya adalah hukum, al-farq min syai’ (menyelesaikan sesuatu), qat al munazaat ( memutuskan perselisihan), dan al amr (perintah).
Ulama madzhab hanafi mendefinisikan qodha dengan suatu putusan yang mengikat yang bersumber dari pemerintah guna menyelesaikan dan memutuskan persengketaan. Sedangkan ulama madzhab Maliki mendefinisikan qodha dengan pemberitaan tentang hukum syara’ melalui cara yang mengikat dan pasti. Ulama madzhab Syafi’I dan Hambali mendefinisikan qodha dengan penyelesaian sengketa antara dua pihak atau lebih berdasarkan hukum Allah. Kemudian ada juga pendapat lain mengatakan qodha adalah memutuskan hukum antara manusia dengan benar dan memutuskan hukum dengan apa yang di turunkan Allah.
Seorang qodhi harus memenuhui syarat-syarat sebagi berikut :
a.       Islam
b.      Berakal ( sehat pikiran , cerdas, dan dapat memecahkan masalah yang pelik dengan kecerdasannya itu).
c.       Adil, yaitu benar dalam pembicaraan, dapat di percaya, menjaga kehormatan diri dari segala yang dilarang, jujur dalam keadaan marah atau suka.
d.      Berpengetahuan mengenai pokok-pokok hukum agama dan cabang-cabangnya serta dapat membedakan yang haq dan yang batil.
e.       Sehat pendengaran, penglihatan, dan ucapan.
5.      Mujtahid Dan Ijtihad
Mujtahid adalah seseorang yang diberi kemampuan akal yang cemerlang sehingga dengan modal tersebut ia mampu mengeluarkan hukum syariah yang praktis dari dalil-dalilnya yang terperinci. [6]
Syarat-syarat mujtahid dalam menggali hukum yaitu:
a.       Orang tersebut harus mahir dalam ilmu bahasa arab berikut cara menunjukkannya  atas suatu makna.
b.      Harus hafal al qur’an sekaligus memahami maknanya.
c.       Mempunyai pengetahuan luas terhadap hadits-hadits.
d.      Mampu mengetahui tujuan-tujuan hukum, kondisi masyarakat dan apa yang menjadi kebiasaan serta kemaslahatan hidup masyarakat tersebut.
e.       Menguasai ilmu fikih dan ushul fiqih.

       Secara etimologi, kata ijtihad terbentuk dari kata dasar jahada yang berarti seseorang telah mencurahkan segala kemampuannya untuk memperoleh hakikat sesuatu tertentu. Adapun ijtihad dalam terminologi ahli fiqih adalah pencurahan seseorang atas totalitas kemampuan dan tenaganya untuk memperoleh hukum syariat yang praktis dengan cara menggali dari dalil-dalil syar’i.
Secara garis besar ijtihad dibagi dalam dua bagian, yaitu ijtihad fardi dan ijtihad jami’i
1.      Ijtihad fardi
الاجتهاد الفردي هو كل اجتهاد ولم يثبت اتفقاق المجتهدين فيه على راءي فى المسئلة
Artinya : Setiap Ijtihad yang dilakukan oleh perseorangan atau beberapa orang, namun tak ada keterangan bahwa semua mujtahid lain menyetujuinya dalam suatu perkara
Ijtihad semacam inilah yang pernah dibenarkan rasul kepada Muadz ketika rasul mengutus beliau untuk menjadi qadi di Yaman. Dan sesuai pula ijtihad yang pernah Umar bin Khattab katakana kepada Abu Musa Al-Asyari , kepada Syuraikh di mana beliau (umar) dengan tegas mengatakan kepada Syuraikh :
مالم يتبين لك فى السنة فاجتهد فيه راءيك
Dan kata Umar Kepada Abu Musa Al-Asyari
أعرف الاشباه والامثال وقس الامور عند ذلك
Artinya : “ Kenalilah penyerupaan-penyerupaan dan tamsilan-tamsilan dan qiyaskanlah segala urusan sesudah itu “
2.      Ijtihad Jami’i
الاجتهاد الجماعي هو كل اجتهاد اتفق المجتهدون فيه على رأي فى المسألة
Artinya : “ semua ijtihad dalam suatu perkara yang disepakati oleh semua mujtahidin “ ( Ushulut Tasyri’ )
Ijtihad semacam ini yang dimaksudkan hadis Ali pada waktu beliau menanyakan kepada Rasul tentang suatu urusan yang menimpa masyarakat yang tidak di ketemukan hukumnya dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah . Ketika itu Nabi bersabda :

أجمعواله العالمين من المؤمنين فاجعلوه شورى بينكم فيه برأي واحد
Artinya : “ Kumpulkanlah orang-orang yang berilmu dari orang-orang mukmin untuk memecahkan masalah itu dan dijadikanlah hal itu masalah yang dimusyawarahkan di antara kamu dan janganlah kamu memutuskan hal itu dengan pendapat orang seorang. “[7]


[1] http://azizal-ngawaini.blogspot.com/2014/05/ushul-fiqh-istifta’-dan-ifta,diakses:05/06/2015.08.25WIB
[2] Basiq Djalil, Peradilan Islam, Jakarta:Amzah, 2012,Hal.106
[3] Khairul Uman, dkk, Ushul Fiqih II, Bandung : CV Pustaka Setia, 2001, hal. 173-181.
[4] Zen Amiruddin, Ushul Fiqih, yogyakarta : Teras, 2009, hal. 212-213.
[5] Khairul Uman, dkk, Ushul Fiqih II, Bandung : CV Pustaka Setia, 2001, hal.182.
[6] Muhammad Sayyid Tantawi, Ijtihad dalam Teologi Keselarasan, (Surabaya: Graha Pena, 2005), Hlm: 3
[7] Drs.Khairul umam, Ushul fiqh II, (Bandung : CV Pustaka Setia: 2001) Hal.132-136

1 komentar:

  1. play fun88 online【WG】fun88 games in your browser
    Play fun88 free online games in your ボンズ カジノ browser with fun88 soikeotot A demo version of this game is rb88 available on Android smartphones and tablets.

    BalasHapus