A.
PEMBAHASAN
1.
Pengertian
Ifta’,Istifta’ dan Mufti
Ifta’ berasal dari kata afta yang artinya memberikan penjelasan. Secara
definisi memang sangat sulit merumuskan arti ifta’ atau fatwa itu. Namun dapat
dipahami bahwa ifta’ adalah usaha memberikan penjelasan tentang hukum syara’
oleh ahlinya kepada orang yang belum mengetahuinya.
Sedangkan ciri-cirinya
adalah sebagai berikut :
a. Ia adalah usaha
memberikan penjelasan.
b. Penjelasan yang
diberikan itu adalah tentang hukum syara’ yang diperoleh melalui hasil ijtihad.
c. Orang yang memberikan penjelasan itu adalah
orang yang ahli dalam bidang yang dijelaskan itu.
d. Penjelasan itu diberikan kepada orang yang
bertanya yang belum mengetahui hukumnya.[1]
Sedangkan Istifta
atau Al-Fatwa secara etimologi (bahasa) ialah:
اَلْجَوَاب
عَمَّايُسْكِلُ مِنَ الْامُوْرِ
Artinya: “menyeleseikan setiap problem”
Misalnya kalau kita berkata:
اِسْتَفْتَيْتُ
فَاَفْتَانِى بِكَذَا
Artinya: “Aku minta fatwa kepadanya dan ia memberi
fatwa begini kepadaku”.
Seperti firman Allah:
وَيَسْتَفْتُو
نك فى النساءقل الله يفتيكم فيهن
Artinya: “Dan mereka minta fatwa kepadamu tentang
para wanita. Katakanlah Allah memberi fatwa kepadamu tentng mereka.” (QS.
An-Nisa’ : 127)
فاستفتهم
اهم اشدّ خلقا ام من خلقنا
Artinya: “ maka tanyakanlah kepada mereka (musyrik
mekah) apakah mereka yang lebih kukuh kejadiannya atau apa yang telah kami
ciptakan itu.” (QS. Saffat : 11)
افتونى فى
رؤياي
Artinya: “terangkanlah kepadaku tentang ta’bir
mimpiku itu.” (QS. Yusuf : 43)
Di dalam kitab An-Nihabah dikatakan:
يقال :
افتاه في المسا لة فيفتيه اذا اجابه
Artinya: “misalnya menfatwakan satu masalah
(artinya) ia telah memberi fatwa kalau ia telah menjawab pertanyaan itu.”
انّ اربعة
تفا ئوا اليه عليه السّلام اي طلبوا منه الفتوا
Artinya: “sesungguhnya empat orang minta fatwa
kepada rasul SAW. Maksudnya minta fatwa dari rasul.”
Dan didalam kitab Al-Misbah disebutkan:
(وفى المصباح) : الفتوى بالواو بفتح الفاء اعمّ من افتى العالم اذا
بيّن الحكم
Artinya: “kata fatwa dengan imbuhan wau dan fa yang
difatahkan bermakna seorang alim memberi fatwa kalau ia menyeleseikan masalah
tentang hukum.”
Sedangkan istifta secara terminologi (istilah) adalah:
الاخبارعن
حكم الله تعالى بمقتضى الادلة الشرعية على جهة العموم والشمول
Artinya: “ fatwa ialah menyampaikan hukum-hukum Allah
berdasarkan dalil-dalil syariah yang mencakup segala persoalan.”
Adapun hal-hal yang
berkaitan dengan masalah fatwa, ibnu al-Qoyyim berpendapat :
a.
Seseorang tidak
boleh memberikan fatwa dengan cara taklid karena ia dianggap bukan orang yang
berilmu, sedangkan berfatwa tanpa mempunyai ilmu dianggap haram.
b.
Apabila tidak
ada orang yang mampu berijtihad dengan pendapat yang paling benar, memberi
fatwa dengan cara taklid diperbolehkan ketika sangat dibutuhkan.[2]
Istifta hukumnya fardhu
kifayah kalau ada orang lain yang bisa memberi fatwa selain dirinya. Adapun
kalau tidak ada orang lain yang bisa memberi fatwa dan masalah yang difatwakan
itu cukup mendesak, maka ia pun berkewajiban memberi fatwa atas peristiwa itu.
Mufti ialah pemberi fatwa.
Namun, mufti tidak mengeluarkan fatwanya kecuali apabila diminta dan persoalan
yang diajukan kepadanya adalah persoalan yang bisa dijawabnya sesuai dengan
pengetahuannya. Oleh sebab itu, mufti dalam menghadapi suatu persoalan hukum
harus benar-benar mengetahui secara rinci kasus yang dipertanyakan.
Orang pertama menjabat mufti
(pemberi fatwa) di dalam islam ialah Rasulullah SAW. Beliau memberi fatwa
terhadap segala permasalahan yang timbul atau terjadi berdasarkan wahyu dari
Allah yang diturunkan kepadanya.
Rasul di dalam memberi fatwa berdasarkan firman Allah:
فان تنازعتم
فى شىء فرد وه الى الله والسول
Artinya: “kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya.” (QS. An-Nisa’:
59)
Selain
itu, Rasul juga memberi kesempatan beberapa orang sahabat untuk berfatwa. Ada
sekitar 132 orang yang terdiri atas laki-laki dan perempuan yang bertindak sebagai mufti (pemberi fatwa)
pada masa sahabat. Di antara mufti-mufti yang terkenal ketika itu ialah:
Mas’ud, Aisyah ra., Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Abbas dan Abdullah bin Umar.
Imam
Asy-Syatibi di dalam kitab Al-Muwafaqat
mengatakan:
انّ
عمركان يستثير آصحا به مع فقهه حتّى اذارفعت اليه حا د ثة قال : ادع لى عليّا وادع
لى زيدا فكان يستثير هم ثمّ يفصّل ما اتّفقوا عليه
Artinya: “sesungguhnya Umar bin Khattab selalu
bermusyawarah dengan sahabat-sahabatnya padahal beliau seorang faqih, sehingga
apabila diajukan suatu perkara kepadanya, beliau selalu berkata panggillah Ali
dan Zaid untuk datang kepadaku, lalu Umar bermusyawarah dengan mereka. Kemudian
beliau memutuskan yang mereka sepakati.”
Imam
Sya’bi berkata:
كانت
القضيّة ترفع الى عمر ربّما تأمّل في ذلك شهرا ويستثير أصحا به
Artinya: “kalau ada kasus yang diajukan kepada Umar
kadang-kadang beliau meneliti kasus itu sebulan lamanya. Dan setelah itu beliu
mengajak sahabatnya bermusyawarah.”
Setelah itu menyusul Abu Bakar r.a., Ummu Salamah,
Anas bin Malik, Abu Sa’id Al-Kudri, Abu Hurairah, Abdullah bin Amru bin Ash,
Ibnu Zubair, Abu Musa Al-Asyari, Saad bin Abbi Waqqash, Salman Al-Farisi,
Mu’adz bin Jabal, Abdurrahman bin Auf dan Ubadah bin Shamit.
Ibnu
Qayyim di dalam Ilamul Mu’aqqin menyatakan bahwa ulama besar dari
golongan tabi’in banyak ditempatkan di negara-negara islam, yaitu di makkah,
madinah, kuffah, basrah, yaman dan syam.
Baik
sahabat, tabi’in-tabi’in, maupun ulama-ulama yang ahli ketika itu sangat
berhati-hati di dalam berfatwa kalau mereka belum meneliti lebih dahulu
dalil-dalil yang difatwakan itu dari Al-Quran maupun dari hadist.
Ada
diantara mereka yang mengharamkannya, dengan berdasarkan firman Allah:
ولاتقولوا
لما تصف السنتكم الكذ ب هذا حلال وهذا حرام لتفتروا على الّله الكذ ب انّ الذ ين
يفترون على الّله الكذ ب لايفلحون
Artinya: “dan janganlah kamu mengatakan terhadap
apa-apa yang disebut oleh lidahmu secara dusta “ini halal dan ini haram” untuk
mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang
mengadakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung.” (QS. An-Nahl : 116)
2. Syarat Dan
Kewajiban Mufti
Menurut pendapat imam atau
ahmad bahwa yang menjadi mufti hanyalah yang mempunyai lima perkara, yaitu:
a.
Mempunyai niat
dalam memberi fatwa, yakni mencari keridhaan Allah semata. Karenanya janganlah
memberi fatwa untuk mencari kekayaan taupun kemegahan, atau karena takut kepada
penguasa. Telah berlaku sunah Allah yang memberikan derajat yang tinggi di mata
manusia kepada orang yang ikhlas. Kepadanyalah diberikan nur (cahaya)
dan memberikan kehinaan kepada orang yang memberikan fatwa atas dasar riya.
b.
Hendaknya ia
mempunyai ilmu, ketenangan, kewibawaan, dan dapat menahan kemarahan. Ilmu
sangat diperlukan dalam memberi fatwa. Orang yang memberi fatwa tanpa ilmu
berarti mencari siksaan Allah.
Mufti
harus dapat menahan amarah karena sifat itulah yang
menjadi hiasan bagi ilmunya, sebagaimana mufti sangat memerlukan sifat
terhormat dan ketenangan jiwa.
c.
Hendaklah mufti
itu seorang yang benar-benar menguasai ilmunya, bukan seorang yang lemah
ilmunya, karena apabila dia kurang pengetahuan mungkinlah tidak berani
mengemukakan kebenaran di tempat dia harus mengemukakannya dan mungkin pula dia
nekat mengemukakan pendapat di tempat yang seharusnya dia diam.
d.
Hendaklah mufti
itu seorang yang mempunyai kecukupan dalam bidang material bukan seorang yang
memerlukan bantuan orang untuk penegak hidupnya. Karena dengan mempunyai
kecukupan itu, dia dapat menolong ilmunya. Sedang apabila dia memerlukan
bantuan-bantuan orang lain, niscaya akan rendahlah pandangan orang kepadanya.
e.
Hendaklah mufti
itu mengetahui ilmu kemasyarakatan. Apabila tidak mengetahui keadaan
masyarakat, kemungkinan mufti tersebut menimbulkan kerusakan dengan
fatwa-fatwanya.
Disamping itu, terdapat juga syarat-syarat lain yang
harus dimiliki seorang mufti:
1)
Fatwanya harus
berdasarkan kitab-kitab induk (mu’tabarah) di kalangan para mujtahid
agar fatwa yang dikeluarkan itu dapat diterima dan dipercaya oleh massanya.
2)
Kalau ia
meriwayatkan satu pendapat dari seorang mujtahid yang pernah mengajarnya, atau
pernah mendengar seorang ulama berfatwa, maka ia harus menyebutkan sanad
asal orang yang pernah didengar berfatwa itu, supaya ia tidak membuat suatu
kesalahan atau kebohongan.
3)
Seorang mufti
harus mengerti ilmu perbandingan madzhab dan pendapat-pendapat madzhab agar
bisa menjawab atau menyeleseikan setiap perkara fatwanya tepat pada sasarannya,
dan tidak menimbulkan kesalahan dalam penerimaan fatwanya.
4)
Seorang mufti
harus mengerti hukum-hukum Al-Quran dan Al-Hadist, nasikh-mansukh,
muffasal-mubayyan, umum, khas, mutlaq-muqayyad, serta semua ilmu yang
berhubungan denga itu menurut yang dibahas dalam ilmu ushulul fiqih.[3]
5)
Seorang mufti
harus mengerti/mengetahui berbagai macam pendapat ulama’ agar tidak terjadi
kesalah fahaman antara ia dan penerima fatwanya.
6)
Seorang mufti
haruslah seorang alim yang memiliki kejujuran.[4]
Ibnu Qayyim menambah bahwa seorang mufti
haruslah seorang yang alim dan benar serta bersifat jujur agar dalam memberikan
suatu fatwa adil dan jujur pula.
Adapun kewajiban-kewajiban mufti adalah:
a.
Tidak memberikan
fatwa saat keadaan sangat marah, atau sangat ketakutan, karena sangat gundah,
atau dalam keadaan pikiran bimbang karena suatu hal. Karena semua itu
menghilangkan ketelitian dan kebimbangan.
b.
Hendaklah dia
merasakan sangat berhajat pada pertolongan Allah dan hendaklah dia memohon
pertolongan Allah agar menunjukinya ke jalan yang benar dan membukakan baginya
jalan yang harus ditempuh. Sesudah itu barulah dia meneliti nash-nash
Al-Qur’an, nash-nash Hadist, atsar-atsar para sahabat dan
pendapat-pendapat para ulama. Dan hendaklah dia bersungguh-sungguh untuk
menemukan hukum dari pokoknya sendiri dengan bercermin kepada sikap-sikap yang
telah dilakukan para ulama dahulu.
Bila
dia tidak menemukan kebenaran, hendaklah bertobat dan memohon ampun kepada
Allah. Para mufti harus berpegag pada bantuan Allah yang mengilhamkan
kebenaran karena ilmu itu adalah cahaya yang diberikan Allah kepada jiwa
seseorang hamba. Maka cahaya itu tidak diberikan kepada orang durhaka
kepada-Nya. Hawa nafsu dan kemaksiatan merupakan angin badai yang memadamkan
cahaya kebenaran.
c.
Berdaya
menetapkan hukum dengan yang diridhai Allah dan selalu ingat bahwa dia harus
memutuskan hukum dengan apa yang Allah turunkan, serta dilarang mengikuti hawa
nafsu.
Seorang
mufti tidak boleh memberikan fatwa dengan berpegangan pada suatu
pendapat yang pernah dikatan oleh seorang fuqaha tanpa melihat kuat lemahnya
perkataan itu. Dia wajib berfatwa dengan yang lebih kuat dalilnya. Kalau tidak
demikian, berarti dia mengikuti hawa nafsu. Dan janganlah menfatwakan tipu
muslihat untuk menghindari tugas-tugas agama, baik tipu muslihat yang
diharamkan atau dimakruhkan. Dan tidak boleh para mufti berat sebelah
dalam memberikan fatwa. Janganlah dia menfatwakan hukum-hukum yang ringan
kepada orang yang diharapkan dapat memberi bantuan, seperti para penguasa.
Umpamanya dalam hal menjatuhkan talak. Janganlah dia mengatakan talak satu
kalau yang menanyakan itu seorang penguasa dan dikatakan talak tiga kalau yang
menanyakan itu orang biasa.
3. Kedudukan
Istifta
Disebutkan didalam kitab Al-Majmu’
karangan Imam Nawawi: “kalian harus mengerti bahwa fatwa/berfatwa itu adalah
satu perkara yang sangat berat dan besar bahayanya, tetapi ia mempunyai faedah
yang besar pula karena orang yang berfatwa itu bukan sembarang orang melainkan
adalah pewaris para Nabi yang secara fardhu kifayah harus melaksanakan urusan
itu”.
Imam Asy-Syatibi menyatakan
bahwa mufti adalah penyambung lidah para Nabi, khususnya Nabi Muhammad
SAW. Untuk menyampaikan perkara-perkara agama kepada umat di bumi ini.
Berdasarkan hadist Rasul:
ليبلّغ
الشّا هد منكم الغا ئب (رواه البخاري)
Artinya: “Hendaklah yang
hadir itu menyampaikan kepada yang ghaib.” (HR. Bukhari)
بلغوا عنّى
ولو اية (رواه احمد والترمذى)
Artinya: “Hendaklah engkau
menyampaikan kepada mereka dariku sekalipun hanya satu ayat.” (HR. Ahmad dan
Tirmizi)
Ibnu Abidin menjelaskan bahwa orang fasik
tidak boleh diangkat menjadu mufti mengingat urusan fatwa adalah
urusan agama. Sedang orang fasik tidak boleh diterima keputusan-keputusannya
tentang agama. Pendapat ini didukung oleh Imam Al-Aini.[5]
4. Hakim dan
Qodha
Hakim
adalah yaitu orang yang diangkat oleh
penguasa untuk menyelesaikan dakwaan-dakwaan dan persengketaan.
Syarat-syarat menjadi hakim
Para ahli memberikan syarat-syarat dalam mengangkat seorang hakim,
walaupun ada perbedaan dalam syarat-syarat tersebut. Syarat yang dimaksud
adalah sebagai berikut
a.
Laki-laki
merdeka
Menurut
madzhab maliki, syafi’I, dan ahmad, anak kecil dan wanita tidak sah menjadi
hakim. Namun, Hanafi membolehkan wanita menjadi hakim dalam masalah pidana dan qishas
karena kedua hal tersebut kesaksiannya tidak dapat diterima.
b.
Berakal
(mempunyai kecerdasan)
Syarat
ini disepakati oleh seluruh ulama’. Hakim harus orang yang cerdas, bijaksana,
mampu memperoleh penjelasan dan menanggapi sesuatu yang muskil.
c.
Beragama islam
Adapun
alasan mengapa keislaman seseorang menjadi syarat seorang hakim, karena
keislaman adalah syarat untuk menjadi saksi atas seorang muslim, demikian
jumhur ulama’. Karenanya, hakim non muslm tidak boleh memuus perkara orang
muslim.
Dalam
hal ini madzhab hanafi berpendapat lebih rinci, yakni membolehkan mengangkat
hakim non muslim untuk mengutus perkara orang non muslim, karena orang yang
dipandang cakap untuk menjadi saksi harus pula cakap menjadi hakim. Tetapi,
tidak pula boleh seorang kafir dzimmi memutus perkara orang muslim
karena kafir dzimmi tidak boleh menjadi saksi bagi orang muslim. Banyak
pula yang membolehkan hanya dalam hal syafar dan wasiat.
Ulama’
muta’akhirin banyak berpendapat
bahwa seorang saksi tidaklah harus seorang muslim. Tetapi diperlukan orang-orang
yang kebaikannya lebih banyak dari keburukannya.
d.
Adil
Seorang
hakim harus terpelihara dari perbuatan-perbuatan haram, dipercaya kejujurannya,
baik diwaktu marah atau tenang, dan perkataannya harus benar.
Dalam
hal ini ada perbedaan pendapat antara madzhab hanafi dan syafi’i. golongan
hanafi berpendapat bahwa putusan hakim yang fasik adalah sah bila sesuai dengan
syara’ dan undang-undang. Sedang syafi’I tidak membolehkan mengangkan orang
fasik menjadi hakim karena seorang fasik tidak diterima sebagai saksi.
e.
Mengetahui
segala pokok hukum dan cabang-cabangnya.
Hakim harus mengetahui pokok-pokok dan cabang-cabang hukum agar
memperoleh jalan utuk perkara yang diajukan kepadanya. Dalam hal ini, Hanafi
mebolehkan mukalid menjadi hakim sesuai pendapat Al-Ghazali karena mencari
orang yang adil dan ahli ijtihad sangat sulit dengan ketentuan telah diangkat
oleh penguasa.
f.
Mendengar,
melihat, dan tidak bisu
Orang
bisu tidak boleh diangkat menjadi hakim karena orang bisu tidak bisa menyebut
putusan yang dijatuhkannya. Demikian pula orang tuli karena tidak dapat
mendengar keterangan para pihak, sedang orang buta tidak dapat melihat
orang-orang yang berpekara. Syafi’I membolehkan orang buta, tetapi mengakui
lebih utama orang yang tegap dan sehat.
Qodha
berasal dari bahasa arab yang mengandung banyak arti di antaranya adalah hukum,
al-farq min syai’ (menyelesaikan sesuatu), qat al munazaat ( memutuskan
perselisihan), dan al amr (perintah).
Ulama
madzhab hanafi mendefinisikan qodha dengan suatu putusan yang mengikat yang
bersumber dari pemerintah guna menyelesaikan dan memutuskan persengketaan.
Sedangkan ulama madzhab Maliki mendefinisikan qodha dengan pemberitaan tentang
hukum syara’ melalui cara yang mengikat dan pasti. Ulama madzhab Syafi’I dan
Hambali mendefinisikan qodha dengan penyelesaian sengketa antara dua pihak atau
lebih berdasarkan hukum Allah. Kemudian ada juga pendapat lain mengatakan qodha
adalah memutuskan hukum antara manusia dengan benar dan memutuskan hukum dengan
apa yang di turunkan Allah.
Seorang qodhi
harus memenuhui syarat-syarat sebagi berikut :
a.
Islam
b.
Berakal ( sehat
pikiran , cerdas, dan dapat memecahkan masalah yang pelik dengan kecerdasannya
itu).
c.
Adil, yaitu
benar dalam pembicaraan, dapat di percaya, menjaga kehormatan diri dari segala
yang dilarang, jujur dalam keadaan marah atau suka.
d.
Berpengetahuan
mengenai pokok-pokok hukum agama dan cabang-cabangnya serta dapat membedakan
yang haq dan yang batil.
e.
Sehat pendengaran,
penglihatan, dan ucapan.
5.
Mujtahid Dan
Ijtihad
Mujtahid adalah seseorang yang diberi kemampuan akal yang cemerlang
sehingga dengan modal tersebut ia mampu mengeluarkan hukum syariah yang praktis
dari dalil-dalilnya yang terperinci. [6]
Syarat-syarat
mujtahid dalam menggali hukum yaitu:
a.
Orang tersebut
harus mahir dalam ilmu bahasa arab berikut cara menunjukkannya atas suatu makna.
b.
Harus hafal al
qur’an sekaligus memahami maknanya.
c.
Mempunyai
pengetahuan luas terhadap hadits-hadits.
d.
Mampu
mengetahui tujuan-tujuan hukum, kondisi masyarakat dan apa yang menjadi
kebiasaan serta kemaslahatan hidup masyarakat tersebut.
e.
Menguasai ilmu
fikih dan ushul fiqih.
Secara etimologi, kata
ijtihad terbentuk dari kata dasar jahada yang berarti seseorang telah
mencurahkan segala kemampuannya untuk memperoleh hakikat sesuatu tertentu.
Adapun ijtihad dalam terminologi ahli fiqih adalah pencurahan seseorang atas
totalitas kemampuan dan tenaganya untuk memperoleh hukum syariat yang praktis
dengan cara menggali dari dalil-dalil syar’i.
Secara garis besar ijtihad dibagi dalam dua bagian, yaitu ijtihad
fardi dan ijtihad jami’i
1.
Ijtihad fardi
الاجتهاد الفردي
هو كل اجتهاد ولم يثبت اتفقاق المجتهدين فيه على راءي فى المسئلة
Artinya : Setiap Ijtihad yang
dilakukan oleh perseorangan atau beberapa orang, namun tak ada keterangan bahwa
semua mujtahid lain menyetujuinya dalam suatu perkara
Ijtihad semacam inilah yang pernah
dibenarkan rasul kepada Muadz ketika rasul mengutus beliau untuk menjadi qadi
di Yaman. Dan sesuai pula ijtihad yang pernah Umar bin Khattab katakana kepada
Abu Musa Al-Asyari , kepada Syuraikh di mana beliau (umar) dengan tegas
mengatakan kepada Syuraikh :
مالم يتبين لك فى السنة فاجتهد فيه راءيك
Dan kata Umar Kepada Abu Musa
Al-Asyari
أعرف الاشباه والامثال وقس الامور عند ذلك
Artinya : “ Kenalilah
penyerupaan-penyerupaan dan tamsilan-tamsilan dan qiyaskanlah segala urusan
sesudah itu “
2.
Ijtihad Jami’i
الاجتهاد
الجماعي هو كل اجتهاد اتفق المجتهدون فيه على رأي فى المسألة
Artinya : “ semua ijtihad dalam suatu perkara yang disepakati oleh
semua mujtahidin “ ( Ushulut Tasyri’ )
Ijtihad semacam ini yang dimaksudkan
hadis Ali pada waktu beliau menanyakan kepada Rasul tentang suatu urusan yang
menimpa masyarakat yang tidak di ketemukan hukumnya dalam Al-Qur’an dan
As-Sunnah . Ketika itu Nabi bersabda :
أجمعواله
العالمين من المؤمنين فاجعلوه شورى بينكم فيه برأي واحد
Artinya : “ Kumpulkanlah orang-orang
yang berilmu dari orang-orang mukmin untuk memecahkan masalah itu dan dijadikanlah
hal itu masalah yang dimusyawarahkan di antara kamu dan janganlah kamu
memutuskan hal itu dengan pendapat orang seorang. “[7]
play fun88 online【WG】fun88 games in your browser
BalasHapusPlay fun88 free online games in your ボンズ カジノ browser with fun88 soikeotot A demo version of this game is rb88 available on Android smartphones and tablets.